Translate This Article

Kamis, 03 November 2016

Traveling is A Process

Belakangan ini semakin banyak orang yang melakukan traveling. Berbagai postingan di media sosial apalagi jika musim liburan tiba banyak diisi oleh aktifitas orang-orang yang tengah menikmati waktunya di suatu tempat dengan orang-orang terdekat. Traveling kini tidak hanya menjadi sebuah gaya hidup namun sudah menjadi kebutuhan terutama pada masyarakat yang tinggal di kota besar. Rutinitas hidup yang melelahkan membuat orang-orang perlu melakukan penyegaran, salah satunya dengan traveling.  

Bagi banyak orang, traveling merupakan sesuatu hal yang menyenangkan. Jalan-jalan ke tempat liburan, foto-foto, menikmati berbagai fasilitas yang tersedia, mencicipi kuliner asal, dan menginap di tempat yang nyaman. Ada pula yang berusaha mencari tiket transportasi dan akomodasi termurah demi menghemat biaya perjalanan. Lalu sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan traveling? Dan apa tujuan orang-orang melakukannya?

Ditilik dari sejarahnya, sebenarnya kata "travel" bermakna sangat jauh dengan "travel" di zaman sekarang. Kata "travel" diperkirakan berasal dari Bahasa Perancis lama "travailler" yaitu bekerja keras penuh penderitaan. Selain itu menurut kamus Merriam-Webster, di Inggris abad pertengahan, kata "travelen" juga memiliki arti yang mirip. Seiring waktu bergulir kemudian selepas abad ke-14 kata "travel" digunakan untuk mendeskripsikan sebuah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan. 

Menurut saya, istilah perjalanan pada zaman dulu sudah mengalami penyempitan makna. Orang-orang terdahulu melakukan perjalanan untuk tujuan sederhana seperti berburu untuk mencari makanan, membuka lahan baru, atau tujuan yang memiliki maksud khusus seperti pergi beribadah atau bahkan memperluas wilayah kekuasaan suatu kerajaan atau negara tertentu. Tujuan traveling kebanyakan orang saat ini adalah murni pariwisata, meskipun ada juga yang memiliki tujuan sama dengan tujuan orang-orang melakukan perjalanan di masa lalu.

Sekarang ini banyak orang-orang melakukan traveling dengan berbagai cara dan gaya. Ada yang memakai gaya backpacker yaitu traveling dengan budget minim. Ada pula yang lebih memilih traveling ala koper, dimana orang-orang lebih mementingkan kenyamanan meskipun harus merogoh kocek lebih dalam. Btw, saya tiba-tiba tergugah untuk menulis tentang hal ini karena ada beberapa hal yang menarik untuk saya utarakan. Pertama, beberapa atau bahkan mungkin banyak orang merasa bahwa dirinya adalah seorang traveler sejati. Kedua, banyak orang yang saling mencibir gaya traveling ala koper maupun ala ransel. Ketiga, tujuan orang-orang dalam berlibur: dalam maupun luar negeri. Di postingan kali ini saya akan membahas poin pertama.

Statement seseorang yang menisbatkan dirinya sebagai seorang traveler sejati akhir-akhir ini lebih sering saya lihat. Misalnya di medsos, banyak yang mengunggah meme yang menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang traveler. Ada pula yang menggunakan kaos bertuliskan sebuah program bertema traveling di sebuah stasiun televisi yang rutin ditayangkan tiap akhir pekan. Traveling quote seperti "I'm A Traveler", "trust me I'm A traveler", dan sejenisnya banyak beredar dimana-mana. Memang, aktifitas traveling, ngetrip, ngebolang dan sebagainya sedang tren terutama di kalangan kawula muda. Banyak yang melihat tayangan-tayangan bertema traveling, melihat foto-foto hasil perjalanan orang-orang yang berlibur di tempat wisata tertentu maupun membaca buku atau artikel bertema traveling. Efeknya adalah tak sedikit di antara kita yang "terinfeksi virus" traveling lalu bersemangat untuk ikut menjelajah. Entah niatnya hanya sekedar ikut-ikutan tren atau memang murni ingin traveling. Terlepas dari dua hal itu, traveling bagi saya punya makna yang mendalam.


81. Pantai Samalona, Sulawesi Selatan
Samalona Beach, South Sulawesi

Bagi saya, traveling harus bisa menghasilkan sesuatu yang lebih. Saya sepakat dengan tulisan yang saya kutip dari Hanum Salsabila:  

"Hakikat sebuah perjalanan bukanlah sekedar menikmati keindahan dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekedar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya. Makna perjalanan harus lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan hijrah Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah".

Dari beberapa perjalanan yang pernah saya lakukan, saya bersyukur mendapat banyak hal-hal baru baik secara lahir maupun batin. Secara lahir tentunya saya dapat membeli buah tangan khas dari tempat yang saya datangi. Sedangkan secara batin mungkin bisa saya contohkan seperti ini: Ketika saya tengah menjalankan ibadah umrah, selain saya bisa merasakan suasana beribadah langsung di Tanah Suci, saya juga dapat melihat berbagai macam bentuk dan karakter jamaah lain dari berbagai negara di dunia. Di sana saya belajar bagaimana berinteraksi dengan orang baru, mengenal ciri mereka dan kebiasaan mereka. Dan yang terpenting dari itu adalah saya punya pengalaman yang tidak bisa tergantikan dengan uang atau harta. Bagi saya, pengalaman yang diperoleh dari traveling adalah suatu hal yang sangat berharga dan mungkin sulit atau bahkan tidak bisa didapat ketika kita hanya berdiam diri saja di rumah, kampus atau tempat kerja. Adapun pengalaman yang lain adalah ketika saya tengah berada di KL, saya dijamu dengan ramah oleh seorang  teman lama yang saya anggap seperti guru saya sendiri karena beliau sangat ramah dan dengan ikhlas mengantarkan saya berkeliling KL. Tidak hanya itu, beliau juga berperan seperti seorang tour guide yang menjelaskan banyak hal tentang KL, hal-hal yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan, hingga  isu-isu politik yang tengah hangat di sana maupun yang terjadi antara Indonesia-Malaysia. Seperti anak sendiri, beliau banyak memberi wejangan kepada saya tentang banyak hal dalam hidup. Cerita tentang ini akan saya posting belakangan.

Saya selalu yakin saya akan memperoleh pengalaman baru dimanapun dan kapanpun itu, meskipun dari pengalaman itu kita tidak selalu mendapatkan hal yang manis. Pengalaman baik maupun buruk dalam suatu perjalanan adalah hal dapat membijaksanakan kita jika kita menyikapinya secara positif. Dari sedikit perjalanan yang pernah saya tempuh (saya sebut begitu karena masih banyak tempat yang belum saya datangi), pengalaman terburuk (baca: terbaik) yang saya dapatkan dari traveling sampai saat ini adalah ketika saya "terdampar" di Thailand sebelum sampai ke Tanah Suci (silakan baca postingan Get Stranded in Bangkok: Pisah sama Ayah, Get Stranded in Bangkok (2): @Suvarnabhumi-Hotel, dan Get Stranded in Bangkok (3): Pending Lagi Deh)

Saya sering mendengar kalimat yang menyebutkan bahwa perjalanan itu adalah sebuah proses, bukan perhentian akhir. Ya, saya sepakat akan kalimat ini. Perjalanan adalah proses yang harusnya menjadikan kehidupan kita lebih berwarna, lebih bermakna dan tentunya menjadikan kita lebih bijak dari sebelumnya. Semakin sering kita melakukan perjalanan, semakin banyak belajarlah kita, sementara belajar harus dilakukan secara kontinyu dan tanpa akhir. Jadi menurut saya, kata traveler sejati itu sangat berat maknanya. Hal-hal positif yang didapat dari pembelajaran  selama traveling dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari, karena kehidupan itu sendiri adalah sebuah perjalanan menuju kehidupan berikutnya.

Rabu, 04 Mei 2016

Kulineran di Makassar

Ini dia beberapa menu tradisional Sulawesi Selatan yang ada di Makassar yang aku dan teman-teman santap. Makanan pertama yang aku icip adalah barongko. Makanan penutup ini dibuat dari pisang yang dihaluskan, telur, santan, gula pasir dan garam dan dibungkus daun pisang lalu dikukus. Mirip seperti karanggesing, makanan khas Jawa Tengah. 
73. Barongko
Source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhk4k1uyjMJQ4X0ENIbfhfHGZ7y_zKlJg626Qz_2sxnu8St3VU9TmSs_2ST2cBc4tyepWFXU3qxHwrobhBTIALll3Ioa7FjnyxFsONX3VCF8pmT7XdZdMDjC_XSwZ7yF7eStjOgTNuvG04/s1600/barongko.jpg 

Next traditional food yang aku lahap adalah kapurung yang terbuat dari pati jagung dimasak dengan campuran ikan atau ayam dan berbagai sayuran. Dari sumber yang aku dapatkan, kapurung ini asalnya dari daerah Luwu dan dikenal juga dengan nama Pugallu. Nah kalau di Maluku sama Papua, kapurung ini mirip seperti papeda, makanan tradisional mereka. 


74. Kapurung
Kata orang Makassar, makan kapurung tidak lengkap tanpa lawa. Yup, lawa ini juga makanan khas dari Sulsel. Bisa dibilang lawa ini sashiminya orang Sulsel. Jadi, lawa ini terbuat dari ikan teri/ikan daging putih yang sudah dihilangkan duri, kotoran dan kepalanya lalu direndam air jeruk nipis/cuka (untuk membunuh bakteri yang ada pada ikan). Campurannya adalah kelapa parut sangrai dan bumbu-bumbu. Setelah kelapa parut sangrai dan bumbu matang, barulah ikan tadi dimasukkan ke dalamnya. Rasanya asin-gurih dan tidak terasa sama sekali rasa mentah/bau amis dari ikan tadi. 

75. Lawa Palopo


Ke Makassar tidak lengkap jika tidak makan pisang epe. Cemilan ini terbuat dari pisang kepok bakar yang disiram saus gula merah. Penjual makanan khas ini banyak ditemukan di sepanjang Pantai Losari dan depan benteng Fort Rotterdam, tapi ada juga yang berjualan di tempat-tempat lain di seputaran kota Makassar. Dulu, pisang epe hanya ada satu macam rasa saja, tapi sekarang sudah banyak variasinya macam rasa durian, coklat hingga keju.


76. Pisang Epe


Sup Konro dan Konro Bakar. Siapa sih yang tidak kenal dengan makanan asli Makassar ini? Hidangan dari daging iga sapi yang kaya rempah ini jadi hidangan andalan orang Sulsel selain coto makassar dan pisang epe. Sup Konro dan Konro bakar ini bahan dasarnya sama yaitu terbuat dari daging iga sapi. Perbedaanya adalah jika sup konro berkuah coklat dengan rasa rempah yang kuat sedangkan konro bakar dibakar mirip iga bakar berlapis bumbu setipe sup konro berbentuk sambal kecap. Keduanya biasa dimakan dengan burasa/ketupat atau nasi. Kali itu kami makan konro bakar di Konro Karebosi Jl. Gunung Lompobattang no 41, Makassar, Sulawesi Selatan, buka pukul 15.00-23.00 WITA. Asal tahu saja, nama Karebosi berasal dari nama lapangan/alun-alun tempat pertama kali makanan ini dijual. Saat itu tempat makan masih bebentuk warung kaki lima. Saat ini, Konro Karebosi sudah memiliki cabang hingga ke Jakarta.


77.Konro Bakar
Perjalanan kuliner di Makassar masih berlanjut dengan mencicipi bakso khas Makassar di Kios Bakso Ati Raja. Bedanya kedai bakso di Makassar dengan di tempat lain adalah jenis baksonya. di kios bakso Ati Raja ini ada tiga jenis bakso: bakso halus, kasar, dan bakso goreng. Bakso halus adalah bakso dengan daging halus namun rasa daging tetap dominan. Bakso kasar teksturnya lebih berserat dan kenyal, sedangkan bakso goreng bentuknya mirip tahu kepal. Bakso ini biasa dinikmati dengan burasa/ketupat dan sambal kuning dengan dicampur kecap dan perasan jeruk nipis. Aku dan Mb. A saat itu menyambangi kios yang ada di Jl. Gunung Merapi No. 170 (Jl. Gunung Nona), Makassar, Sulawesi Selatan. 

78. Bakso Ati Raja
Gorengan. Ya. Cemilan khas Indonesia ini ada dimana-mana, bahkan di daerah Dataran Tinggi Malino sekalipun. Menikmati bakwan dan sukun goreng hangat dengan sambal dari pati kanji dan irisan daun bawang di dekat air terjun Takapala itu asyik banget! Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?

79. Gorengan. Cemilan yang pasti ada di daerah manapun di Indonesia

Makanan tradisional terakhir yang aku cicipin sebelum pulang ke Depok adalah barobbo. Bubur jagung ini disebut juga arelle oleh orang Bugis dan orang Makassar menyebutnya biralle. Barobbo ini kami santap di Aroma Luwu, Jl.Sultan Alauddin No. 137G, Makassar.

80. Barobbo, bubur jagung khas Sulsel
Itu dia beberapa makanan khas Makassar yang sudah pernah aku coba. Sebenarnya masih ada banyak yang lain yang belum aku icip, but time is up. Saatnya menuju airport untuk kembali ke Jakarta :)

Sabtu, 26 Maret 2016

Welcome to the City of Flower, Malino

Hari itu adalah hari ahad. Hari terakhir sebagian besar dari kami berada di Makassar. Setelah dari Samalona, kami kembali menuju hotel dan bersiap untuk kembali ke Jakarta. Hampir semua anggota rombongan kami memang akan kembali bergelut dengan rutinitas kerja keesokan harinya, namun itu tidak berlaku untukku dan dua orang temanku. Kami masih akan menjelajah sisi lain Makassar dan sekitar. Kami pun melanjutkan untuk bergerak ke pusat kota Makassar dan menuju Red Planet Hotel untuk menginap semalam. Perjalanan lancar dengan supir taksi yang ramah dan mengajak kami ngobrol sepanjang perjalanan mengantarkan kami ke hotel budget tersebut. Setelah check in, kami bertiga merebahkan badan sejenak dan kemudian menyusun rencana perjalanan esok hari. Kami bertiga sepakat berencana pergi ke Malino. Transportasi dipersiapkan oleh temanku (sebut saja mba A) yang asli Sulsel dan hafal sekali seluk beluk Makassar dan sekitarnya. 

Menjelang isya, kami akan keluar untuk makan malam. Mba A punya sederet tempat kuliner seru yang harus kita coba selama di Makassar. Pilihan kami jatuh pada Bakso Ati Raja. Namun saat itu seorang temanku, N, sedang tidak enak badan sehingga dia "jaga kandang" sedangkan aku dan mba A on the way to TKP. O iya, untuk cerita kulineran di Makassar ada di postingan selanjutnya, tunggu saja :)

Pagi hari senin pukul 6 kami check out dan menuju mobil yang akan mengantarkan kami ke Malino. Alhamdulillah kondisi N sudah membaik setelah semalaman istirahat. Sekedar info, Malino ini adalah sebuah dataran tinggi berhutan pinus di kabupaten Gowa tepatnya di kawasan Gunung Bawakaraeng, kira-kira 90 km dari Makassar. Malino terkenal dengan sebutan City of Flower. Kawasan ini termasuk kawasan bersejarah karena di tahun 1946 pernah diadakan Konferensi Malino dan Perjanjian Malino di tahun 2002. Jika perjalanan normal tanpa hambatan, Makassar-Malino hanya memakan waktu 2 jam saja dengan kendaraan pribadi. 

Perjalanan dimulai dengan menghadapi banjir kota Makassar yang terjadi karena hujan deras dari sore hingga malam kemarin. Mulai menjauhi pusat kota, kami berhadapan dengan medan jalan yang rusak karena dilewati truk-truk besar pengangkut pasir. Tantangan sepanjang jalan menuju Malino ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Kami mulai merasakan sejuknya hawa khas pegunungan yang menyebabkan kami memilih untuk mematikan AC mobil dan membuka jendela. Kami pun melihat sebuah Bendungan besar bernama Bendungan Bili-Bili di sebelah kanan jalan menuju Malino. Bendungan ini menyuplai air untuk wilayah Gowa dan Makassar. Di atas bendungan ini terdapat jembatan kembar. Pemandangan asri yang lain adalah hamparan sawah luas khas pedesaan yang tidak akan didapatkan di kota-kota besar di Indonesia macam Jakarta. Waktu itu, bapak supir memberhentikan kami di sebuah monumen bertuliskan "Malino" dan berfotolah kami bertiga di tempat itu (bapak supirnya ngerti banget dah kami pengen foto-foto, hehehe).

Malino monument
78. Monumen Malino

Malinoooo... sampai juga akhirnya. Menikmati udara sejuknya dengan naik kuda adalah hal yang patut dicoba. Kami pun menaiki kuda setelah terjadi tawar-menawar antara pemilik kuda dan mba A dengan bahasa daerah yang tidak aku pahami. Macam manusia, kuda-kuda yang kami naiki punya nama juga loh, keren-keren lagi. Kuda jantan putih yang aku naiki saja namanya Herlino. Ya, Herlino! (Ga usah kaget gitu napa?). Spontan kami berempat (plus bapak supir) tertawa kecil mendengarnya. Selesai naik kuda, kami lanjutkan perjalanan menuju sebuah air terjun yang masih berada di kawasan Malino. Air terjun Takapala namanya.

Layaknya daerah pegunungan lainnya di Indonesia, di Malino ini banyak warga sekitar yang menjual sayur mayur dan buah-buahan hasil ladang mereka. Banyak pula yang menjadikan perkebunan stroberinya sebagai obyek wisata petik stroberi yang juga banyak dilakukan di dataran tinggi lainnya di Indonesia. Yang terkenal di Malino adalah buah markisa. Kami menyempatkan diri membeli buah itu di sebuah kios di pinggir jalan sewaktu menuju Takapala. Selain hasil kebun, di kios-kios semacam ini juga menjual makanan khas daerah ini seperti tengteng (enting-enting di Jawa Tengah), gula kacang, dodol, sirup markisa, dan sebagainya.

malino, kios oleh-oleh
79. Kios-kios di sepanjang Malino

Nah, ini dia air terjun Takapala... Perlu perjuangan untuk sampai kesana. Dari tempat parkir mobil kami harus berjalan kaki menuju lokasi. Alhamdulillah karena kami terbiasa jalan di seputaran kampus UI, kami tidak merasa kelelahan. Nah, karena pagi kami tidak sarapan dan siang itu kami belum makan, akhirnya kami memutuskan untuk mengganjal perut kami dengan gorengan yang dijual di warung depan air terjun. Hanya ada beberapa warung yang buka disitu. Kata penjualnya, hari senin banyak warung yang tutup karena jumah pengunjung yang sedikit, berbeda dengan hari ahad yang pengunjungnya banyak. Kami bersyukur datang disitu saat hari kerja sehingga hanya beberapa gelintir orang yang datang sehingga kami bisa menikmati keindahan alam ciptaan Allah ini dengan leluasa. 

Takapala, Air terjun, Malino, waterfall
 80. Air Terjun Takapala
Mendung kembali datang. Kami harus segera kembali ke mobil agar tidak kehujanan mengingat jalan dari air terjun menuju tempat parkir agak jauh. Alhamdulillah hujan turun sewaktu kami tepat di tempat parkir. Kami pun segera masuk dan melanjutkan perjalanan menuju bandara setelah sebelumnya mengisi perut di Aroma Luwu, restoran yang menyajkan selera asal khas Sulsel di Makassar. Ketika di bandara Sultan Hasanuddin, aku bisa bertemu dengan temanku asli Makassar yang sebelumnya hanya bisa bertemu via sosmed dan sms saja. Dia rela-relain ketemu sebentar di bandara dalam keadaan hamil besar dan 2 hari ke depan akan menjalani SC (operasi caesar) dengan membawa mobil sendiri. Kami sempat ngobrol sebentar dan foto. Di akhir perjumpaan, dia memberiku sirup markisa khas Makassar. Alhamdulillah, semoga ukhuwah kami tetap terjalin meski berada di pulau yang berbeda, aamiin...

Senin, 08 Februari 2016

Mengunjungi Pusat Budaya Jawa di Kasunanan

Kita patut bersyukur hidup dan bertempat tinggal di Indonesia. Bagaimana tidak, negeri kaya dengan berbagai macam anugerah Tuhan ini memiliki banyak keunggulan yang dapat dibanggakan. Anugerah Tuhan tersebut diantaranya ada pada keragaman suku bangsa dan budaya. Saya sendiri sebagai warga negara Indonesia merasa kagum dengan ratusan atau bahkan mungkin ribuan suku yang ada. Di negeri inilah dari ujung terbarat hingga paling timur Indonesia tempat tinggal suku-suku tersebut dengan bahasa dan adat istiadat yang beragam. Tiap suku bangsa memiliki norma dan tata aturan yang berlaku dan masih dilestarikan hingga sekarang, seperti tradisi budaya Jawa yang masih terjaga di Surakarta.

Surakarta atau lebih dikenal dengan nama Solo adalah suatu kota di Jawa Tengah. Saya bilang kota ini adalah kota istimewa. Bukan hanya pendapat pribadi saya yang memang dibesarkan di kota ini, namun juga karena disinilah pusat kebudayaan Jawa berada dan masih dilestarikan hingga sekarang dengan Keraton Surakarta sebagai ikonnya. Ya, Keraton Kasunanan Surakarta merupakan istana tempat tinggal raja Surakarta beserta keluarganya hingga saat ini. pada zaman dahulu, istana berarsitektur campuran Jawa-Eropa ini menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang terbentuk setelah adanya Perjanjian Giyanti antara kerajaan Mataram Islam dengan Belanda, yang membagi wilayah kerajaan menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta di Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di Surakarta tahun 1755. Sebagian kompleks Keraton Kasunanan ini terbuka untuk umum dan ada yang dijadikan museum. Bermula dari tempat inilah tata aturan masyarakat Jawa di bawah pemerintahan Kerajaan Kasunanan Surakarta berasal termasuk acara-acara budaya seperti Grebeg Maulud, Sekaten, Kirab Malam 1 Sura dan lainnya yang masih ada hingga sekarang.

Bagian-bagian keraton Surakarta adalah Alun-alun Lor, kompleks Sasana Sumewa, kompleks Siti Hinggil Lor, kompleks Kamandungan Lor dan kompleks Sri Manganti, kompleks Kedhaton, kompleks Kamagangan, Kompleks Sri Manganti Kidul dan Kamandungan Kidul, kompleks Siti Hinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Tiap kompleks memiliki fungsi tersendiri. Alun-alun merupakan tempat diadakan upacara-upacara kerajaan. Alun-alun juga menjadi tempat bertemunya raja dengan rakyatnya. Lor berarti utara dan Kidul berarti selatan. Sasana Sumewa digunakan untuk menghadap raja oleh para pejabat menengah ke atas dalam upacara resmi kerajaan. Siti Hinggil Lor dengan bagian-bagian atau bangsal tertentu yang memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah tempat diselenggarakannya upacara kerajaan, tempat singgasana tahta raja saat menerima para pimpinan dan tempat persemayaman pusaka kerajaan selama berlangsungnya upacara. Di tengah Siti Hinggil ini berdiri suatu bangunan kecil bernama Krobongan Bale Manguneng yaitu tempat persemayaman pusaka keraton Kanjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang diperoleh Mataram dari VOC saat menyerang Batavia. Meriam tersebut masih bisa disaksikan hingga sekarang.

Jika anda pernah melihat foto Keraton Surakarta, umumnya ditampilkan sebuah tempat berhalaman luas dengan bangunan bercat biru dan sebuah menara. Tempat berhalaman luas dengan bangunan bercat biru dikenal dengan nama Kamandungan Lor sedangkan menara yang berdiri di belakangnya disebut dengan Panggung Sangga Buwana yang terletak di kompleks Sri Manganti Lor.  

 Kompleks Kamandungan Lor  

Fungsi Panggung Sangga Buwana adalah untuk meditasi raja, melihat munculnya bulan baru sekaligus untuk mengawasi Benteng Vastenburg milik Belanda. Kompleks berikutnya adalah kompleks Kedhaton yang ditandai dengan bangunan berhalaman pasir hitam dari pantai selatan yang  ditumbuhi oleh bermacam pohon langka. Kompleks dengan beberapa bangunan utama ini berfungsi sebagai tempat bertahtanya raja ketika ada upacara kebesaran, tempat menyimpan pusaka, tempat menjamu makan tamu kerajaan, dan tentunya tempat tinggal raja dan keluarganya yang tidak bisa diakses oleh masyarakat umum. Kompleks Magangan dikelilingi bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit untuk hari-hari besar kerajaan sedangkan kompleks Sri Manganti Kidul dan Kamandungan Kidul digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Di sekitar Kori Kamandungan Kidul terdapat pelataran yang terbuka untuk umum. Kompleks terakhir keraton adalah Siti Hinggil Kidul. Perbedaannya dengan kompleks Siti Hinggil Lor selain letaknya adalah kemegahan bangunannya dimana kompleks Siti Hinggil Kidul lebih sederhana mulai dari material dan arsitekturnya. Di kompleks ini terdapat kerbau albino pusaka kerajaan yang dikenal sebagai Kyai Slamet. Sebelah selatan Siti Hinggil Kidul adalah Alun-Alun Kidul yang sekarang ramai dijadikan sebagai tempat hiburan rakyat warga Solo dan sekitarnya di malam hari. Selain bangunan Keraton, terdapat pula bangunan peninggalan kerajaan Kasunanan Surakarta yang masih ada hingga sekarang seperti Masjid Agung Surakarta di sebelah barat keraton. Benteng Vastenburg peninggalan Belanda pun masih berdiri tak jauh dari keraton

 Panggung Sangga Buwana terlihat dari Jalan Supit Urang

Untuk urusan oleh-oleh khas Solo yaitu batik, anda tidak perlu khawatir karena anda bisa berbelanja dengan mudah di Pasar Klewer yang merupakan pusat tekstil dan batik terbesar di Indonesia, Pusat Grosir Solo (PGS) dan Beteng Trade Center (BTC). Selain itu, di sekitar keraton juga banyak pedagang cinderamata khas Solo. Anda juga wajib mencoba wisata kuliner Solo yang terkenal nikmat yang ada di sekitar tempat-tempat tadi. Semuanya dapat dijangkau dengan mudah dari Keraton Kasunanan Surakarta dengan berjalan kaki sekalipun.

Bagaimana, anda tertarik berkunjung ke pusat budaya Jawa ini? Mudah sekali caranya. Karena kota Solo berada di tengah jalur yang menghubungkan daerah Jawa bagian barat dan timur, banyak moda transportasi baik via darat maupun udara yang tersedia setiap hari ke kota ini. Misalnya untuk perjalanan udara dari Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional Adi Sumarmo Solo, anda hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan pilihan berbagai maskapai penerbangan seperti Garuda Indonesia. Perjalanan selanjutnya ke Keraton Kasunanan Surakarta dan sekitarnya dapat dilanjutkan menggunakan transportasi darat yang dengan mudah ditemui di sekitar bandara maupun di jalanan kota. Bermalam di kota ini pun tidaklah sulit karena banyak hotel bertebaran di kota ini. Tinggal pilih sesuai budget dan fasilitas yang diinginkan dan selamat menikmati warisan budaya kota Solo, The Spirit of Java.

Sabtu, 02 Januari 2016

Pulau Cantik itu Bernama Samalona

Hari ketiga: Ahad, 12 April 2015

Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, Ahad itu akan kami gunakan untuk jalan2. Ya, full jalan2. Kami akan menuju sebuah tempat di seberang Makassar yang menurutku cocok untuk dijadikan tempat liburan yang nyaman. Kami bersiap kesana setelah packing karena sore nanti sebagian besar teman-teman akan kembali ke Jakarta untuk menjalani rutinitas macam biasa.

Mobil hotel melaju dengan kecepatan normal melewati jalanan kota Makassar yang tidak terlalu padat kala itu. Supir (yang paling ganteng sendiri karena semua passengernya adalah perempuan) memilih lewat tol untuk mempercepat waktu tempuh perjalanan. Kami akan menuju sebuah pulau cantik yang tak terlalu jauh jaraknya dari ibukota propinsi ini. Pulau cantik itu adalah Pulau Samalona.

Perjalanan tanpa hambatan (Alhamdulillah) membawa kami sampai di dermaga penyeberangan pulau Kayangan. Letak dermaga ini ada di seberang benteng Fort Rotterdam. Di dermaga ini banyak berjajar perahu-perahu motor yang siap mengantarkan traveler menuju pulau-pulau di seberang. Ada beberapa pulau yang sering didatangi para traveler seperti Pulau Samalona, dan pulau Kayangan. Pada kesempatan itu kami hanya mengunjungi Samalona karena selepas itu sebagian besar teman-temanku akan bertolak ke Jakarta untuk kembali beraktifitas. Setelah proses tawar menawar dengan pengemudi perahu motor, disepakati harga 300 ribu untuk jasa antar-jemput dari dermaga-Samalona pp untuk jarak tempuh yang cukup pendek (2 km) selama 30 menit (mahal ga sih gaes?).

Daaannn... Inilah Samalonaaa... Cantik bukan? Pulau berpasir putih dengan perairan yang dangkal dan jernih ini cocok untuk diving dan snorkeling. Terbukti dengan banyaknya warga lokal yang menyewakan peralatan untuk itu. Tentu saja kelihaian dalam hal tawar-menawar tetap diperlukan yaa :)

Samalona
75. Pantai Samalona
Samalona Beach

Samalona
76. Pantai Pasir Putih, Samalona
White-sand Beach, Samalona

Lapar sehabis diving, snorkeling atau sekedar bermain di pantai Samalona? Jangan khawatir karena ada kedai-kedai yang menawarkan menu seafood. Kalaupun mau beli ikan, harganya lumayan. Sekitar 30 ribu untuk ikan kecil karena penduduk lokal tidak ada yang mencari ikan di daerah ini sehingga harus membelinya dari para nelayan. Bagi yang ingin bermalam ada cottage dan rumah penduduk yang dijadikan tempat beristirahat. Tarifnya sekitar 550 ribu plus makan, sewa alat snorkeling dan 1 butir kelapa muda (Kelapa muda disini cukup mahal menurutku, sekitar 15 ribu per butirnya). O iya, jangan lupa bawa lotion anti nyamuk atau raket nyamuk kalau perlu karena katanya disini banyak nyamuk.


Samalona Island
77. Salah satu cottage di Pulau Samalona
One of cottage in Samalona Island

Puas bermain-main di Samalona, kami memutuskan untuk kembali ke daratan Makassar untuk menuju Jl. Sombaopu membeli buah tangan untuk dibawa kembali ke Jakarta. Bagi sebagian besar temanku, jalan-jalan di Makassar dan sekitarnya akan berakhir. Tapi bagiku dan 2 orang temanku, petualangan berikutnya baru akan dimulai karena kami bertiga masih tinggal di kota ini. Tunggu kelanjutan kisah kami selanjutnya :D

3rd day: Sunday, April 12nd, 2015 

As planned as before, We would have a tour that Sunday. Ya, full of tour. We would go to place across Makassar which I think suitable for comfy holiday. We ready to went there after packing because almost of my friends would be getting back to Jakarta on this afternoon.

The hotel car drove with normal speed trough the Makassar road which not very crowded. The driver (who was the one and only man in the car) chose to passed the toll to speed up the time. We would go to a beautiful island which not far from the capital city of  this province. That was Samalona Island.

Unobstacle travel (alhamdulillah) brought us to the Kayangan Island Quayside.This quayside is across Fort Rotterdam. So many boats that ready to take the travelers to the islands. There were islands which travelers often came like Samalona and Kayangan Island. We just went to Samalona at that time because almost of my friends would go back to Jakarta. After bargained with boat driver, we paid Rp. 300.000 for shuttle with very near distance (2 km) for 30 minutes (was it expensive??)

And... It was Samalonaaa... it was beautiful, right? White-sand island with shallow and clear sea water were suitable to diving and snorkeling. Many natives hired those equipment. The ability of bargaining is needed here, of course :)

Feel hungry after diving, snorkeling, or just walk along in Samalona beach? Don't worry because there were food stalls which offer seafood menus. If you want to buy fish, it price was so expensive. It's about Rp. 30.000 for little fish because no one natives who catching the fish there so they must buy it from the fishermen. If you want to spend the night here, there were cottages and natives home for relax. The price was about Rp. 550.000. Eat, snorkeling equipment and a coconut included (I think the coconut was so expensive here, about Rp. 15.000 for one). Oh, don't forget to bring mosquito repellent lotion or mosquito racket if it is needed because people said that so many mosquito here. 

Satisfied played in Samalona, we chose back to Makassar led up Sombaopu St to bought sovenirs. For almost of my friends, the Makassar trip would be end, but it would be a new trips for me and 2 other my friends because we still stayed in this city. So, please  wait for our next story :D

Postingan Populer

Sesame Street Elmo 2