Translate This Article

Sabtu, 26 Maret 2016

Welcome to the City of Flower, Malino

Hari itu adalah hari ahad. Hari terakhir sebagian besar dari kami berada di Makassar. Setelah dari Samalona, kami kembali menuju hotel dan bersiap untuk kembali ke Jakarta. Hampir semua anggota rombongan kami memang akan kembali bergelut dengan rutinitas kerja keesokan harinya, namun itu tidak berlaku untukku dan dua orang temanku. Kami masih akan menjelajah sisi lain Makassar dan sekitar. Kami pun melanjutkan untuk bergerak ke pusat kota Makassar dan menuju Red Planet Hotel untuk menginap semalam. Perjalanan lancar dengan supir taksi yang ramah dan mengajak kami ngobrol sepanjang perjalanan mengantarkan kami ke hotel budget tersebut. Setelah check in, kami bertiga merebahkan badan sejenak dan kemudian menyusun rencana perjalanan esok hari. Kami bertiga sepakat berencana pergi ke Malino. Transportasi dipersiapkan oleh temanku (sebut saja mba A) yang asli Sulsel dan hafal sekali seluk beluk Makassar dan sekitarnya. 

Menjelang isya, kami akan keluar untuk makan malam. Mba A punya sederet tempat kuliner seru yang harus kita coba selama di Makassar. Pilihan kami jatuh pada Bakso Ati Raja. Namun saat itu seorang temanku, N, sedang tidak enak badan sehingga dia "jaga kandang" sedangkan aku dan mba A on the way to TKP. O iya, untuk cerita kulineran di Makassar ada di postingan selanjutnya, tunggu saja :)

Pagi hari senin pukul 6 kami check out dan menuju mobil yang akan mengantarkan kami ke Malino. Alhamdulillah kondisi N sudah membaik setelah semalaman istirahat. Sekedar info, Malino ini adalah sebuah dataran tinggi berhutan pinus di kabupaten Gowa tepatnya di kawasan Gunung Bawakaraeng, kira-kira 90 km dari Makassar. Malino terkenal dengan sebutan City of Flower. Kawasan ini termasuk kawasan bersejarah karena di tahun 1946 pernah diadakan Konferensi Malino dan Perjanjian Malino di tahun 2002. Jika perjalanan normal tanpa hambatan, Makassar-Malino hanya memakan waktu 2 jam saja dengan kendaraan pribadi. 

Perjalanan dimulai dengan menghadapi banjir kota Makassar yang terjadi karena hujan deras dari sore hingga malam kemarin. Mulai menjauhi pusat kota, kami berhadapan dengan medan jalan yang rusak karena dilewati truk-truk besar pengangkut pasir. Tantangan sepanjang jalan menuju Malino ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Kami mulai merasakan sejuknya hawa khas pegunungan yang menyebabkan kami memilih untuk mematikan AC mobil dan membuka jendela. Kami pun melihat sebuah Bendungan besar bernama Bendungan Bili-Bili di sebelah kanan jalan menuju Malino. Bendungan ini menyuplai air untuk wilayah Gowa dan Makassar. Di atas bendungan ini terdapat jembatan kembar. Pemandangan asri yang lain adalah hamparan sawah luas khas pedesaan yang tidak akan didapatkan di kota-kota besar di Indonesia macam Jakarta. Waktu itu, bapak supir memberhentikan kami di sebuah monumen bertuliskan "Malino" dan berfotolah kami bertiga di tempat itu (bapak supirnya ngerti banget dah kami pengen foto-foto, hehehe).

Malino monument
78. Monumen Malino

Malinoooo... sampai juga akhirnya. Menikmati udara sejuknya dengan naik kuda adalah hal yang patut dicoba. Kami pun menaiki kuda setelah terjadi tawar-menawar antara pemilik kuda dan mba A dengan bahasa daerah yang tidak aku pahami. Macam manusia, kuda-kuda yang kami naiki punya nama juga loh, keren-keren lagi. Kuda jantan putih yang aku naiki saja namanya Herlino. Ya, Herlino! (Ga usah kaget gitu napa?). Spontan kami berempat (plus bapak supir) tertawa kecil mendengarnya. Selesai naik kuda, kami lanjutkan perjalanan menuju sebuah air terjun yang masih berada di kawasan Malino. Air terjun Takapala namanya.

Layaknya daerah pegunungan lainnya di Indonesia, di Malino ini banyak warga sekitar yang menjual sayur mayur dan buah-buahan hasil ladang mereka. Banyak pula yang menjadikan perkebunan stroberinya sebagai obyek wisata petik stroberi yang juga banyak dilakukan di dataran tinggi lainnya di Indonesia. Yang terkenal di Malino adalah buah markisa. Kami menyempatkan diri membeli buah itu di sebuah kios di pinggir jalan sewaktu menuju Takapala. Selain hasil kebun, di kios-kios semacam ini juga menjual makanan khas daerah ini seperti tengteng (enting-enting di Jawa Tengah), gula kacang, dodol, sirup markisa, dan sebagainya.

malino, kios oleh-oleh
79. Kios-kios di sepanjang Malino

Nah, ini dia air terjun Takapala... Perlu perjuangan untuk sampai kesana. Dari tempat parkir mobil kami harus berjalan kaki menuju lokasi. Alhamdulillah karena kami terbiasa jalan di seputaran kampus UI, kami tidak merasa kelelahan. Nah, karena pagi kami tidak sarapan dan siang itu kami belum makan, akhirnya kami memutuskan untuk mengganjal perut kami dengan gorengan yang dijual di warung depan air terjun. Hanya ada beberapa warung yang buka disitu. Kata penjualnya, hari senin banyak warung yang tutup karena jumah pengunjung yang sedikit, berbeda dengan hari ahad yang pengunjungnya banyak. Kami bersyukur datang disitu saat hari kerja sehingga hanya beberapa gelintir orang yang datang sehingga kami bisa menikmati keindahan alam ciptaan Allah ini dengan leluasa. 

Takapala, Air terjun, Malino, waterfall
 80. Air Terjun Takapala
Mendung kembali datang. Kami harus segera kembali ke mobil agar tidak kehujanan mengingat jalan dari air terjun menuju tempat parkir agak jauh. Alhamdulillah hujan turun sewaktu kami tepat di tempat parkir. Kami pun segera masuk dan melanjutkan perjalanan menuju bandara setelah sebelumnya mengisi perut di Aroma Luwu, restoran yang menyajkan selera asal khas Sulsel di Makassar. Ketika di bandara Sultan Hasanuddin, aku bisa bertemu dengan temanku asli Makassar yang sebelumnya hanya bisa bertemu via sosmed dan sms saja. Dia rela-relain ketemu sebentar di bandara dalam keadaan hamil besar dan 2 hari ke depan akan menjalani SC (operasi caesar) dengan membawa mobil sendiri. Kami sempat ngobrol sebentar dan foto. Di akhir perjumpaan, dia memberiku sirup markisa khas Makassar. Alhamdulillah, semoga ukhuwah kami tetap terjalin meski berada di pulau yang berbeda, aamiin...

Postingan Populer

Sesame Street Elmo 2